Ir. Soekarno Bukan Saja Daftar Orator Ulung Dunia, Juga Pandai
Berpolitik. Dibalik sosok Bung Karno Terdapat Jiwa Seni Pola Berpikir
Kritis. Beliau Juga Sempat Menulis Karya Karnya nya dalam buku.
Buku2 beliau yang langka saat ini seperti : Dibawah Bendera Revolusi,. Penyambung Lidah Rakyat (By. Cindy Adams),. Sarinah
----------------------------
Judul : SARINAH
Penulis : Ir. Soekarno
Terbit : 1963 (Cetakan Ke 3)
Tebal : 329 Halaman
Dalam tulisannya dijelaskan bagaimana kawula putri Indonesia Berjuang untuk bangsanya.
Penasaran Download Klik disini Resensi Buku...Jauh sebelum ada tabloid gosip, apalagi acara-acara infotainment,
sudah ada pengetahuan publik yang sangat satu dimensi soal dinamika
mantan Presiden RI, Bung Karno dengan para perempuan. Siapa pun tahu,
sang proklamator itu dikenal sebagai sosok flamboyan yang ‘doyan’
wanita. Melalui beberapa kali pernikahannya, bisa jadi mitos soal
kecintaan Bung Karno akan perempuan menjadi semakin terkonfirmasi.
Tapi, rupanya Bung Karno bukan tipikal ‘buaya darat’ yang sekedar
mencintai tanpa mampu menghargai peran perempuan. Kemerdekaan Republik
Indonesia baru menapaki tahun kedua ketika Sukarno mengguratkan pena
menuliskan sebuah buku berjudul Sarinah-Kewajiban Wanita dalam
Perjuangan Republik Indonesia.
Meski tidak semonumental karya tulis Sukarno yang lain, seperti Di
Bawah Bendera Revolusi, buku Sarinah mampu mengungkap banyak hal yang
merupakan pembelaan Sukarno atas posisi perempuan Indonesia, dalam
konteks pentingnya para perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan
sebuah negara yang saat itu masih belia. Soal wanita adalah soal
masyarakat! tulis Bung Karno di paragraf awal kata pengantar Sarinah.
Sejak awal, Sukarno rupanya sadar betul betapa fatalnya kedudukan
perempuan Indonesia bila dianggap ‘tidak ada’ peran lain selain peran
pendamping laki-laki. Ia juga resah karena soal perempuan, saat itu
belum pernah dipelajari dengan mendalam oleh pergerakan di Indonesia.
Mengingat saat ini kita kadung berpikir urusan perempuan hanya jadi
urusan sejumlah LSM atau organisasi dengan ‘judul’ yang dilengkapi kata
‘perempuan’, mungkin pemikiran Bung Karno yang tercakup di dalam Sarinah
cukup layak untuk diganjar dengan kata ‘progresif’. Apalagi, tolong
diingat, buku ini diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1947.
Mutiara di Dalam Kotak
Dari mana keresahan soal peran perempuan ini muncul dalam benak sang
proklamator? Alkisah, Bung Karno kerap bertamu ke rumah penduduk tanpa
‘woro-woro‘ (pemberitahuan). Seringkali hanya tuan rumah lah yang
menerima kunjungan Sukarno, sementara nyonya rumah tak ikut mendampingi.
Kalau toh ditanya soal ini, tuan rumah kerap berdalih, ..sayang seribu
sayang, ia kebetulan tidak ada di rumah. Menengok bibinya yang sedang
sakit (h.7).
Kejadian serupa itu dialami Bung Karno beberapa kali, hingga suatu
saat ia menangkap bayangan seorang perempuan dari balik tabir yang
tergantung di pintu pemilik rumah. Sejak saat itu, benak sang
proklamator dihantui ketakutan, ..bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat
kemerdekaan? Meski kemudian ia mempertanyakan kembali pertanyaannya
itu, ..tetapi, kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan a la Kartini?
Kemerdekaan a la Chalidah Hanum? Kemerdekaan a la Kollontay? (h.9).
Sampai di sini para pembaca mungkin bertanya, dari mana sang
proklamator punya pemahaman soal beragam ‘versi’ kemerdekaan perempuan?
Di bagian-bagian berikutnya, Sarinah memaparkan wawasan Sukarno yang
teramat luas dan mendalam sebagai bahan argumen tingkat ‘tinggi’ dalam
meyakinkan perlunya peran perempuan dalam ‘perjuangan’ (yang belakangan
hari dibahasakan sebagai ‘pembangunan’) negara.
Tanpa ragu Sukarno memberikan ilustrasi adanya perlakuan kurang
manusiawi pada para perempuan yang dilakukan dengan sadar atau tanpa
sadar oleh para lelaki yang berada di lingkungan terdekat para perempuan
itu sendiri. Sebut saja, teman Bung Karno di Bengkulu yang berprofesi
sebagai guru namun tak mengizinkan sang istri keluar rumah dengan alasan
ia menghargai istrinya itu bak sebutir mutiara. Tetapi justru
sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka
menyimpan istrinya itu di dalam kurungan.. (h.9).
Sukarno membagi keresahannya sendiri soal pencarian definisi yang pas
untuk memerdekakan perempuan Indonesia. Disebutnya pemikiran Henriette
Roland Holst yang menguraikan dilema perempuan saat harus memilih peran
sebagai ibu atau sebagai pekerja. Bung Karno juga lantang menentang
pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, mau menyamaratakan saja
perempuan dengan laki-laki (h.11). Ia pun mendukung gagasan Ki Hadjar
Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa
meniru cara moderen atau cara Eropa, meski jangan pula terikat oleh rasa
konservatif, melainkan mencocokkan segala hal sesuai dengan kodratnya
(h.11-12).
Tak lupa, Sukarno juga mengajak pembacanya meninjau posisi perempuan
menurut ajaran agama Islam. Saya beragama Islam, saya cinta Islam,
tetapi saya bukan ahli fiqih. Bolehlah saya katakan di sini, di dalam
masyarakat Islam pun masih ada soal perempuan. Kesan yang saya dapat,
sama dengan kesan Frances Woodsmall sesudah beliau mempelajari posisi
perempuan di dalam Islam, yakni, soal perempuan adalah justru bagian
yang "most debated” (h.14).
Menutup argumennya di bagian awal Sarinah, Bung Karno menegaskan
pokok bahasan yang ia kemukakan adalah soal posisi perempuan secara
keseluruhan di dalam masyarakat, supaya posisi perempuan di dalam
Republik Indonesia bisa ditempatkan sesempurna mungkin.
Kritikan Terhadap Beragam Pemikiran ‘Impor’
Sebagaimana para pemikir di fase awal kemerdekaan Indonesia, Bung Karno
tidak berniat mengajak pembacanya untuk mengadopsi atau menelan
mentah-mentah konsep-konsep ‘impor’ dari manapun. Termasuk soal posisi
perempuan.
Dikisahkannya pada tahun 1849, ketika Elisabeth Blackwell meraih
gelar ‘doktor’, terjadi keributan yang dipicu oleh para lelaki Amerika
yang mengaku "cinta kemerdekaan”, semata-mata karena menganggap
perempuan tak layak menjadi tabib. Amerika, seolah meniadakan peran
perempuan yang menurut Sukarno ikut punya andil dalam membangkitkan rasa
kemanusiaan, seperti yang pernah dibuktikan oleh Harriet Beecher Stowe
melalui bukunya, Uncle’s Tom Cabin.
Belum kelar meledek AS, Bung Karno menyebut soal terbentuknya Dewan
Wanita Nasional di tahun 1888 di Amerika. Yang kemudian disusul oleh
negara-negara lain sehingga mempunya 50 cabang di berbagai negara. Namun
badan itu lebih mengutamakan persaudaraan internasional, sehingga
organisasi filantropispun bisa bergabung. Contoh lain yang lebih
radikal, lebih militan dan lebih politis adalah Alliance for Women
Sufferage and Equal Citizenship, yang pertama kali berkongres di Berlin
pada tahun 1904. Bung Karno mengkritik Alliance yang menurutnya hanya
menuntut hak persamaan dalam pekerjaan dan pemilihan umum, namun
melewatkan soal ketidak-adilan sosial, yaitu soal nasib perempuan miskin
(h.191).
Sukarno mengungkapkan bagi perempuan jelata, pergerakan feminisme itu
tidak memuaskan karena tidak memberi solusi. Mereka, wanita rakyat
jelata itu mencari kemerdekaan, bukan saja kemerdekaan politik, tetapi
juga ekonomi (h.193). Jangan heran kalau Bung Karno mengerti mengapa
perempuan jelata menolak pergerakan feminis. Intinya, Bung Karno
berargumen, di tahap awal, perjuangan perempuan hanya berkepentingan
mencari persamaan hak saja dengan kaum lelaki, dan perjuangan perempuan
pun jadinya ‘sekedar’ melawan laki-laki. Cara itu, menurut Sukarno,
tidak mempertimbangkan susunan masyarakat, maupun membandingkan strata
sosial di dalam masyarakat, apalagi mengejar keadilan sosial.
Ikutlah-serta-mutlak!
Menjelang akhir dari Sarinah, terungkaplah pemikiran Bung Karno pada
saat ia menuliskan buku ini: keinginannya agar revolusi segera berakhir.
Karena baru setelah revolusi tuntas negara bisa dibangun. Dan agar
revolusi segera kelar, semua golongan-termasuk perempuan, haruslah dapat
bersatu.
Revolusi bangsa bukan revolusinya suatu kelas! Alangkah seringnya
perkataan ‘bangsa’ dipermainkan! Seringkali ia dipergunakan sebagai
kedok untuk menutupi kepentingan suatu golongan atau suatu kelas
(h.285).
Apa impian yang ingin diraih Sukarno? Berulang-kali ia menyebut
‘kesejahteraan sosial’. Tentunya yang terakhir ini yang kerap
‘dipelesetkan’ rezim penguasa sesudahnya sebagai ‘bukti’ sang
proklamator itu cenderung pro-sosialisme dan kekiri-kirian. Namun, kalau
kita kembali mencoba mendalami pemikirannya melalui Sarinah, sebetulnya
apa yang diperdebatkannya adalah masalah kesetaraan manusia, penolakan
terhadap penindasan, penolakan terhadap perilaku eksklusif, dan warisan
terbesarnya yang membuat kita masih ‘punya muka’ sampai hari ini yaitu
kemerdekaan untuk berpikir. Karena ia percaya, bangsa Indonesia sanggup
berpikir sendiri.
Gaya penulisan dari sudut pandang orang pertama yang digunakan
Sukarno saat menulis Sarinah mengungkapkan dimensi utuh dari sosok
‘ikonik’ itu. Tak pernah ragu ia bersikap, mendebat, mempertanyakan
ulang, memaparkan dengan beragam argumen, tentunya dengan dukungan
sejumlah data juga referensi yang luar biasa kaya. Sesekali ia mengutip
paragraf dalam bahasa Belanda atau Inggris bahkan Perancis dan
mendampingi teks yang dikutipnya itu dengan terjemahan dalam Bahasa
Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat, kejelasan perumusan setiap
kalimat yang digunakan Sukarno cukup ampuh untuk ‘mempermalukan’
pejabat, akademisi, atau siapapun yang merasa ‘pintar’ hari ini namun
tak sanggup menulis atau menggunakan bahasanya sendiri dengan layak. Tak
ada kata atau kalimat ‘bersayap’ yang berpanjang-panjang tanpa makna,
tak ada penyikapan yang tak tersampaikan dengan jelas kepada pembaca.
Sang proklamator rupanya juga seorang ‘provokator’ yang menempatkan
lawan bicaranya dalam posisi ‘harus siap ikut berpikir’, dan bukan hanya
‘menelan’. Hilangnya kapasitas ‘berdialog’ dengan publik ini mungkin
tak luput dari kecanggihan metode komunikasi a la Orde Baru yang serba
satu arah.
Pada paragraf akhir dari Sarinah, Sukarno lantang berseru, Wanita
Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam
usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat,
ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Di dalam
masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti
menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka! (h.329)
Pilihan penempatan posisi perempuan di dalam konteks negara pun
menjadikan buku ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Mengingat
sampai hari ini kerap masih sering kita temui pejuang hak perempuan
’salah kaprah’ yang sedikit-sedikit mempertanyakan ‘perspektif jender’
tanpa melihat konteks, sehingga terkesan asal menuding atau asal
memusuhi laki-laki. Di sisi lain, kita juga wajib prihatin bila
mencermati kondisi saat ini di mana terlihat adanya sejumlah ‘langkah
mundur’ dalam memposisikan perempuan Indonesia dengan diberlakukannya
sejumlah rambu yang jelas membatasi ruang gerak perempuan yang intinya
menuding perempuan sebagai ancaman pelanggaran ‘moral’. Rasanya sulit
dipercaya pembatasan-pembatasan terhadap perempuan justru terjadi
puluhan tahun setelah negara ini merdeka, padahal di tahun kedua
kemerdekaan RI buku Sarinah sudah ada.
Akhir kata, kenapa judul buku yang sangat bertenaga ini harus
"Sarinah” dan bukan "Fatmawati”, "Hartini”, atau "Ratna Sari Dewi”?
Sukarno memaparkan di bagian awal, Sarinah adalah nama pengasuhnya
ketika ia masih anak-anak. Dari Sarinah lah Bung Karno memperoleh
pelajaran yang menurutnya paling berharga yaitu mencintai "orang kecil”.
Menurut sang proklamator, Sarinah sendiri adalah "orang kecil” dengan
budi yang selalu besar.
|