Kerajaan TarumanagaraTarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M.
Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang
meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan
artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu
Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. Sumber Sejarah
Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak
ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama
kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan
sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman
pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam
Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah
Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara. Prasasti yang ditemukan
- Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
- Prasasti Tugu,
ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya,
Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti
tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh
Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun
ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan
untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada
masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim
kemarau.
- Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
- Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
- Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
- Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
- Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan
datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun.
Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara.
Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah
Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan,
dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak
di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur
sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi.
Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang
dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada
awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang
mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih
melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi
bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak
jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu
kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
- ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
- Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka)
kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan
kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan
"angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti
tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
- vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
- Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini
kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman
penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang
menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda
tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung
itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada
masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah)
Pasir Muhara.
Prasasti Telapak Gajah
Dua arca Wishnu dari Cibuaya, Karawang, Jawa Barat. Tarumanagara sekitar
abad ke-7 Masehi. Mahkotanya yang berbentuk tabung menyerupai gaya seni
Khmer Kamboja.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
- jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
- Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang
seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara
Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i
Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama
Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga,
bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di
atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman
berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada
prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di
antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya.
Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai
"huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang.
Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada
yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau
kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari
Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah)
sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya
sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang
terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Prasasti Jambu
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti
batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak,
Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir
(sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan
diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
- shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama
shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam -
padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam -
bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
- Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada
taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju
perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya;
kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil
menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan
(kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya.
Sumber berita dari luar negeri
Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.
- Berita Fa Hien,
tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di
Ye-po-ti ("Jawadwipa") hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama
Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan
"beragama kotor" (maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk Jawadwipa, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way Seputih
di Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan
bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan
lain-lain yang sekarang terletak di taman purbakala Pugung Raharjo,
meskipun saat ini Pugung Raharjo terletak puluhan kilometer dari pantai
tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu karang yg
menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa
hien[rujukan?]
- Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.
- Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas para ahli[siapa?] menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.
Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M.
Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah
pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
Kepurbakalaan Masa Tarumanagara
Candi Jiwa di situs Percandian Batujaya
No. |
Nama Situs |
Artepak |
Keterangan |
1 |
Kampung Muara |
Menhir (3) |
|
|
|
Batu dakon (2) |
|
|
|
Arca batu tidak berkepala |
|
|
|
Struktur Batu kali |
|
|
|
Kuburan (tua) |
|
2 |
Ciampea |
Arca gajah (batu) |
Rusak berat |
3 |
Gunung Cibodas |
Arca |
Terbuat dari batu kapur |
|
|
3 arca duduk |
|
|
|
arca raksasa |
|
|
|
arca (?) |
Fragmen |
|
|
Arca dewa |
|
|
|
Arca dwarapala |
|
|
|
Arca brahma |
Duduk diatas angsa
(Wahana Hamsa)
dilengkapi padmasana |
|
|
Arca (berdiri) |
Fragmen kaki dan lapik |
|
|
(Kartikeya?) |
|
|
|
Arca singa (perunggu) |
Mus.Nas.no.771 |
4 |
Tanjung Barat |
Arca siwa (duduk) perunggu |
Mus.Nas.no.514a |
5 |
Tanjungpriok |
Arca Durga-Kali Batu granit |
Mus.Nas. no.296a |
6 |
Tidak diketahui |
Arca Rajaresi |
Mus.Nas.no.6363 |
7 |
Cilincing |
sejumlah besar pecahan |
settlement pattern |
8 |
Buni |
perhiasan emas dalam periuk |
settlement pattern |
|
|
Tempayan |
|
|
|
Beliung |
|
|
|
Logam perunggu |
|
|
|
Logam besi |
|
|
|
Gelang kaca |
|
|
|
Manik-manik batu dan kaca |
|
|
|
Tulang belulang manusia |
|
|
|
Sejumlah besar gerabah bentuk wadah |
|
9 |
Batujaya (Karawang) |
Unur (hunyur) sruktur bata |
Percandian |
|
|
Segaran I |
|
|
|
Segaran II |
|
|
|
Segaran III |
|
|
|
Segaran IV |
|
|
|
Segaran V |
|
|
|
Segaran VI |
|
|
|
Talagajaya I |
|
|
|
Talagajaya II |
|
|
|
Talagajaya III |
|
|
|
Talagajaya IV |
|
|
|
Talagajaya V |
|
|
|
Talagajaya VI |
|
|
|
Talagajaya VII |
|
10 |
Cibuaya |
Arca Wisnu I |
|
|
|
Arca Wisnu II |
|
|
|
Arca Wisnu III |
|
|
|
Lmah Duwur Wadon |
Candi I |
|
|
Lmah Duwur Lanang |
Candi II |
|
|
Pipisan batu |
|
Naskah Wangsakerta
Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas di Naskah Wangsakerta.
Sayangnya, naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang
meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.
Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura--pertama kalinya nama "Sunda" digunakan.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian
pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun
tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535 -
561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1
(halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan
Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang
menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah
atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka
Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara
mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya
menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut.
Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian
pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu
merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang
termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon memberikan
keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya.
Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya
mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3
(halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman
terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau
Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga
(sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali
Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat
pada masa silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir Muara, yang memberitakan Raja
Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah
berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat
pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa
dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak),
yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai
tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari
Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara,
maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah.
Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman
VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang
mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan
Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang
memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus
pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah
bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu
Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara
Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama
kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan
Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang
ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja.
Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan
menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri,
yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang
kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa
pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan
Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu
Tarusbawa.
Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada
Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke
kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.
|